Salim Nashar
El-Hayat London
Setelah Hamas mengumumkan gencatan senjata, Sekjen Hizbullah, sayyid Hasan Nasrollah langsung menyampaikan selamat kepada rakyat Palestina atas kemenangan yang mereka wujudkan dalam menghadapi agresi Israel ke Jalur Gaza.
Harian New York Times edisi Sabtu kemarin mengakui bahwa kegagalan Israel dalam agresinya mematahkan ketegaran Hamas sebagai bentuk kemenangan perlawanan Palestina. Terutama unjuk rasa dan aksi solidaritas publik yang memenuhi jalan-jalan di Jalur Gaza pada Selasa lalu. Ratusan pengunjuk rasa itu mendukung Hamas dan Jihad Islami. Aksi dan unjuk rasa itu diikuti oleh keluarga dan rekan korban agresi Israel yang berjumlah 1300 orang meninggal, 400 di antaranya anak-anak dan perempuan. Ini bukti tegas bahwa mereka mendukung dan mengakui pemerintah Hamas.
Para pengamat militer di media-media barat cenderung meyakini bahwa penarikan Israel yang mendadak menyembunyikan pengakuan atas kegagalan operasi Cast Lade. Penyebab kegagalan diperkirakan adalah adalahh karena tank-tank Israel yang mengepung kota Gaza selama dua pekan tidak membuat 20 ribu perlawanan Palestina menyerah bahkan mereka menunggu operasi syahid.
Dengan tema “Keberhasilan Hamas” Tsevi Berail dalam harian Israel Haaretz menulis artikel yang menegaskan munculnya efek negatif politik penghancuran di Gaza. Ia menyebutkan sejumlah kerugian yang dialami oleh Israel, di antaranya Olmert gagal dalam hubungannya dengan Turki, negara yang tidak berpihak yang membentangkan jalan memulai perundingan soal dataran tinggi Golan. PM Israel pernah meminta langsung saat agresi Gaza, menawarkan kepada Taeb Erdogan pentingnya perundingan langsung dengan Suriah.
Namun Erdogan justru menyatakan bahwa tawaran itu tidak lebih hanya mengelabui Syria, Hizbullah dan Hamas karena Israel ingin gencatan senjata. Erdogan menolak pembicaraan telepon dan membiarkan Jaksa Agung Turki menutup aktifitas kedutaan besar Israel di sana.
Pertama kali, Jordania secara resmi mengingatkan dampak yang sangat berbahaya aksi terorisme Israel. PM Jordania, Nadir Adz-Dzahabi di depan parlemen mengisyaratkan kemugkinan dievaluasi hubungan dengan Israel jika operasi dendam Israel di Jalur Gaza terus berlanjut.
Qatar secara politik masuk dalam poros “menolak” Iran dan Syria. Namun secara diplomasi masih tercatat dalam poros “moderat” karena ia menjadi representasi dari KTT perdagangan negara-negara Arab di Doha. Namun Amir Qatar Hamd bin Khalifah mengumumkan pembekuan KTT menunggu peristiwa-peristiwa yang ada.
Setelah menyebut negaranya sebagai sumber utama terorisme di dunia, Berail mengakui bahwa militernya melakukan aksi spekulasi memaksa Turki membekukan hubungannya dan berpindah ke poros “memusuhi” setelah berada di poros “moderat”. Qatar diperkirakan akan menjadi mederator antara Hizbullah dan Hamas.
Berdasarkan data-data perubahan di atas, Hamas diuntungkan secara politik dalam operasi militer Israel ke Jalur Gaza. Dan ini harus dimanfaatkan untuk semakin memperoleh dukungan di tingkat regional dan internasional. Apalagi Hamas sekarang sedang mengalami tuduhan menyabotase masalah Palestina dalam konflik kepentingan dan bargaining di Timur Tengah. Yakni dengan menjadikan masalah Palestina menjadi cara Hamas menciptakan poros tertentu. Kesalahan ini persis seperti yang dilakukan oleh Yaser Arafat pada perang teluk II yang menjurus Kuwait mengusir mengusir lebih dari 300 ribu lebih pengungsi Palestina.
Pernyataan raja Abdullah bin Abdul Aziz di KTT Kuwait mengagetkan, bahkan untuk pejabat luar negeri Saudi sendiri. KTT akhirnya menyerukan sebuah kesepakatan dimana Libanon menerima perimbangan, pendekatan dengan kaidah s – s yakni berdamainya Syria dan Saudi. Raja Abdullah Saudi menyerukan keada Arab agar membuang perbedaan-perbedaan dan perselisihan antara mereka. Sebab persatuan adalah senjata perlawanan menghadapi Israel.Di petik dari
0 ulasan:
Catat Ulasan