Presiden AS Barack Obama boleh meyakinkan semua orang bahwa AS tidak ikut campur dalam kekisruhan di Iran pasca pemilu di negeri Para Mullah itu. Tapi apa yang dilakukan para pejabat AS menunjukkan campur tangan itu meski tidak secara langsung. Ada apa dengan sikap AS terhadap pemilu Iran? Akankah konspirasi penggulingan perdana menteri Iran Mohamad Mossadegh yang melibatkan agen-agen CIA AS akan terulang lagi di Iran?
Surat kabar New York Times edisi Rabu (17/6) memuat pernyataan asisten menteri luar negeri urusan publik P.J. Crowley yang memerintahkan agar pengelola situs mikro blogging Twitter untuk menunda rencana pemeliharaan situsnya agar situs itu tetap bisa digunakan untuk komunikasi para aktivis di Iran
"Twitter memainkan peranan penting dalam situasi yang sangat krusial di Iran. Bisakah Anda (pengelola Twitter) tetap menjaga agar situs ini bisa terus digunakan?," kata Crowley dalam pernyataannya.
Tidak cukup dengan seruan, pejabat departemen luar negeri AS, Jared Cohen bahkan secara khusus mengirim email pada pengelola Twitter agar menunda jadwal perawatan situsnya (biasanya, pengelola akan menutup sementara situsnya jika akan melakukan pemeliharaan situs) karena, menurut Cohen, Twitter menjadi alat komunikasi yang penting bagi para aktivis di Iran yang ingin menggelar aksi protes non-stop terhadap hasil pemilu di Iran.
Pihak Twitter memuat permintaan dari Deplu AS itu dalam situsnya dan menyatakan akan memenuhi permintaan tersebut. Untuk itu, Twitter menyatakan menunda jadwal pemeliharaan situsnya hingga hari Selasa petang atau hari Rabu waktu Teheran.
Pengelola situs Twitter mengaku tidak menyangka situsnya yang baru berusia dua tahun bisa memainkan peran dalam isu-isu global sehingga para pejabat AS pun memandang peran Twitter sangat signifikan.
Sebuah pertanyaan besar, mengapa para pejabat AS sampai repot-repot meminta Twitter agar terus online apalagi dengan alasan agar para aktivis di Iran bisa saling berkomunikasi untuk mengorganisir aksi protes.Pihak Deplu AS membantah bahwa seruan dan perintah yang dikeluarkannya pada pengelola Twitter adalah bentuk campur tangan AS atas apa yang terjadi di Iran.
Crowley berdalih bahwa AS tetap konsisten dengan kebijakan negaranya. "Kami mendukung kebebasan berekspresi. Informasi harus digunakan sebagai cara untuk mempromosikan kebebasan berekspresi itu," kata Crowley mencari-cari alasan.
Sementara para pengelola Twitter mengatakan, mereka memenuhi permintaan Deplu AS semata-mata untuk membantu rakyat Iran agar suara mereka bisa didengar dunia. "Kami melakukan ini semua karena apa yang terjadi di Iran secara langsung berhubungan dengan makin berkembangnya Twitter sebagai media komunikasi dan informasi," kata salah satu pendiri Twitter, Biz Stone.
Klaim itu diragukan sejumlah pakar IT di Iran, apalagi Twitter tidak menyediakan fasilitas bahasa Farsi. "Pengguna Twitter di kalangan masyarakat di Iran tidak banyak," kata Mehdi Yahyanejad, pengelola situs berita bahasa Farsi yang berbasis di Los Angeles.
Tapi sejumlah media Barat dalam laporannya menyebutkan bahwa para pengunjuk rasa terutama pendukung Mousavi yang kalah dalam pemilu di Iran, menggunakan Twitter untuk menyebarkan pesannya agar massa terus melanjutkan aksi-aksi protesnya. Sementara otoritas berwenang di Iran mengancam akan menutup akses internet untuk membendung pengaruh Barat dan pemberitaan media massa Barat yang provokatif dan menyesatkan tentang pelaksanaan pemilu di Iran.
Dari 70 juta total penduduk Iran, lebih dari 23 juta orang-mayoritas berusia di bawah 20 tahun-memiliki akses internet.
Melihat gejala di atas, sulit mempercayai pernyataan Obama bahwa AS tidak ikut campur dalam pemilu di Iran. Dalam operasi rahasia AS-Inggris untuk menggulingkan PM Iran Muhamad Mossadegh tahun 1953 lalu, AS dan Inggris juga merancang kudeta dengan memanfaatkan media massa untuk menghasut dan menimbulkan rusuh massa di Iran agar rakyat Iran kehilangan kepercayaan pada pemerintahannya.Sumber
0 ulasan:
Catat Ulasan